Budaya Menyebut Nama: Mengapa Identitas Perempuan Sering Hilang setelah Menikah?

Pernikahan dan Hilangnya Identitas Perempuan

Pernikahan menjadi salah satu fase perubahan terbesar dalam hidup. Terutama bagi perempuan. Di balik kalimat ”menempuh hidup baru” bukanlah ucapan selamat. Perempuan secara perlahan merasa kehilangan diri, identitasnya. Kehilangan itu bukan karena arah hidup, tapi karena tuntutan dan harapan masyarakat. Apakah pernikahan menjadikan perempuan seutuhnya atau justru sebaliknya? Hal yang menyedihkan adalah perubahan itu seringkali tak disadari. 

Perubahan Nama dan Identitas Sosial

Misalnya saja, kebiasaan ketika perempuan yang telah menikah cenderung dikenal atau dipanggil dengan nama suami. Ketika si Rani bersuamikan Bowo, maka ia tidak saja sebagai Bu Rani, namun Bu Bowo. Padahal, kita mungkin tak pernah tahu bahwa Rani sebelumnya membangun identitasnya sepanjang ia bersekolah, bekerja, hobi, karya. Siapa diri Rani seakan terpinggirkan lantaran telah menyandang status baru.

Tuntutan dan Harapan Masyarakat terhadap Perempuan

Lebih lanjut, tuntutan dan harapan masyarakat terhadap perempuan yang nyaris tak ada ujung. Ketika perempuan menjadi istri, kemudian seorang ibu, ia harus cekatan tanpa keluhan mampu memasak, beberes rumah hingga merawat suami dan anak. Perempuan baru dianggap berharga dan berperan saat berada di ranah domestik. Padahal, lagi-lagi, apa yang ia sukai, mimpi yang ingin dicapai dianggap urusan nomor sekian.

ilustrasi pernikahan (pexels)

Di saat yang sama, kadangkala media turut memperparah atau membentuk citra ”perempuan sempurna”. Media menggambarkan perempuan yang telah menikah senantiasa mengutamakan rumah, keluarga. Sementara perempuan yang berkarir atau mengejar mimpinya dipandang egois. Alhasil, para perempuan yang tidak sesuai gambaran itu merasa tertekan, merasa bersalah dan sedih.

Perempuan di Ranah Domestik

Perempuan di ranah publik, atau karir di dunia kerja punya tantangan tersendiri. Ketika ia telah menikah, berkeluarga dalam hal ini memiliki anak, sering diragukan komitmen terhadap profesinya. Jangankan kita berbicara komitmen, para pegawai perempuan yang ijin tidak masuk kerja karena anak sakit kadang dipandang sebelah mata. Belum lagi saat kita berbicara peluang karir. Ia bisa jadi lebih rentan digeser diam-diam dari jalur promosi. Identitas profesional yang dirintis dari awal seperti tak berguna. Kerja keras perempuan di bidang publik tak diperhitungkan ketimbang peran domestik.

Jika direfleksikan dari pengalaman, sebagai ibu dan perempuan yang telah berkeluarga tentu saya merasakan hal ini. Hal itu terkadang menjadi beban paling senyap dalam diri sendiri. Saya dan banyak perempuan barangkali telah lupa menanyakan: apa yang sebenarnya saya mau? Bagaimana dengan hobi atau kegemaran yang dulu menjadi jarang disentuh. Tak pelak lagi perempuan bisa merasa asing dengan dirinya sendiri. Lantaran terlalu lama menanggalkan bagian-bagian kecil yang dulu membentuk “aku.” Jika tak segera disadari, lama-lama, bagian-bagian kecil itu terkikis hingga kita bertanya-tanya: siapa diriku selain sebagai istri dan ibu?

Media dan Citra Perempuan Sempurna

Sejatinya status pernikahan tak seharusnya menghapus atau menghilangkan identitas. Menjadi istri atau ibu seharusnya menambahkan ”warna” identitas diri perempuan. Kita sama-sama setuju bahwa peran sebagai istri dan ibu sangat penting dan bermakna. Namun hal itu tidak menjadikan perempuan mengorbankan seluruh keberadaan diri. Dengan demikian, ini menjadi titik penting untuk perempuan menyadari kembali hak atas diri. Tak perlu melakukan hal besar, cukup dimulai dari hal sederhana. Misalnya, kita tetap menjaga hobi tetap jalan, dengan bangga dan syukur menyebut nama kita, hingga mendengarkan suara hati. Saya rasa hal-hal sederhana ini bisa menjadi penguat diri agar tak larut dalam identitas yang dibentuk masyarakat.

Penutup

Perempuan tak perlu merasa bersalah sepenuhnya ketika ia sadar bahwa ia telah kehilangan identitas setelah menikah. Perempuan perlu menyadari kembali hak atas diri. Bukan berarti menolak peran penting sebagai ibu dan istri. Hal itu kita lakukan agar tak melupakan bahwa kita juga manusia dengan mimpi, cita-cita dan pilihan. Pada gilirannya, kehilangan identitas perempuan saat menikah bukanlah bab akhir. Perempuan bisa menjadikan pernikahan sebagai bab baru, yang memberi ruang perempuan tumbuh bersama pasangan dan keluarganya.

Sumber referensi

Liputan6.com. (2024, April 16). Memahami arti patriarki: Sistem sosial yang masih berlaku di masyarakatLiputan6. https://www.liputan6.com/feeds/read/5890184/memahami-arti-patriarki-sistem-sosial-yang-masih-berlaku-di-masyarakat

Media Indonesia. (2024, Juli 6). Perempuan Gen Z ternyata cenderung ingin jadi ibu yang sempurna. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/650710/perempuan-gen-z-ternyata-ingin-jadi-ibu-yang-sempurna

The Conversation. (2024, Juni 24). Perempuan dan ekspektasi sosial: Riset tunjukkan pengaruh media sosial pada keputusan ‘childfree’. The Conversation. https://theconversation.com/perempuan-dan-ekspektasi-sosial-riset-tunjukkan-pengaruh-media-sosial-pada-keputusan-childfree-238883

Kumparan. (2024, Mei 15). Pakar: Teknologi membuat para ibu Gen Z ingin jadi orang tua yang sempurnaKumparanMom. https://kumparan.com/kumparanmom/pakar-teknologi-membuat-para-ibu-gen-z-ingin-jadi-orang-tua-yang-sempurna-24T3L1deB5S

 


 

Komentar

Adsense