Ini bukanlah kisah tentang ibuku saja, melainkan perjuangan dan pengorbanan
sosok ibu. Bagiku, ibu adalah seorang “wanita emas”, setidaknya bagi keluarga
kami. Iya, kita tahu emas merupakan jenis logam mulia. Sifat khusus emas ini
menjadikan nilai emas tidak mudah pudar atau rusak. Emas juga tidak mudah
berkarat, bernoda, pudar dan lunak sehingga mudah dibentuk.
Sosok ibu bagaikan emas, adalah sebuah metafora. Ibu sangat berharga serta
mulia di mata kami. Segala perjuangan dan pengorbanan serta cinta kasihnya
murni untuk anak-anaknya. Perjuangan ibu sangat berarti bagi kehidupan kami yang
kusimpan selalu dalam cerita ini.
Keluarga kami merupakan keluarga dengan kondisi ekonomi menengah. Bapak
kami seorang dosen pegawai negeri sipil di salah satu PTN di Kota Malang.
Sementara itu, ibu adalah seorang ibu rumah tangga penuh waktu. Sejak kecil—saya
dan kedua adik perempuan saya, diasuh sendiri oleh ibu. Ibu mencurahkan seluruh
waktunya untuk keluarga tanpa bantuan asisten atau kerabat lain. Bapak
lebih sering bekerja di kampus dan baru pulang siang hari atau sore. Ibu
mengasuh dan merawat kami tanpa pernah meninggalkan kami kecuali ke pasar, ke
warung, ke arisan tetangga atau acara lingkungan lainnya. Sejak menikah dan
memiliki anak, ibu tak pernah pergi bekerja secara formal.
Kami sekolah dengan baik
dan lancar, tak kurang satu apapun dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Uniknya,
saya dan adik-adik bersekolah di tempat yang sama saat sekolah dasar dan
berhasil mengenakan jaket almamater sama dari PTN ternama di Kota Malang. Pada masa itu, menyekolahkan ketiga anak diiringi
berbagai kebutuhan terasa amat berat. Gaji bapak sebagai PNS bisa dikatakan
pas-pasan. Dalam skala penerima bantuan dari pemerintah, orang-orang berstatus
pegawai negeri bukanlah sasaran penerima bantuan. Kecuali fasilitas tunjangan
keluarga dan kesehatan, itu pun masih dibatasi jumlah anggota keluarga. Bukan
kami tak bersyukur. Atau aku yang tak bersyukur. Saat bersekolah pun, golongan
SPP yang dibebankan padaku dan adik-adik selalu masuk golongan kategori tinggi.
Padahal, kenyataan tak demikian. Tapi justru itu. Lagi-lagi, peran ibu tak
terelakkan lagi menjadi ”manajer keuangan” rumah tangga. Meskipun
tak terlibat dalam bekerja secara formal, peran ibu tetap menjadi sentral. Ibu
yang tak bekerja bukan berarti tak berdaya dan berupaya.
![]() |
unsplash/jason briscoe |
Gaji dari bapak, selalu ibu alokasikan ke kebutuhan rumah seperti sandang,
pangan dan pendidikan. Namun hal yang pasti yang kuingat, ibu selalu usahakan
untuk menyisihkan sebagian uang gajian itu. Sedikit-sedikit lama-kelamaan
menjadi bukit. Untuk apa uang gajian itu ibu sisihkan? Skin care?
Pakaian? Untuknya? Bukan. Tentu saja untuk kami anak-anaknya. Uang yang disisihkan
Ibu selalu digunakan untuk membeli perhiasan emas di pasar. Ibu bahkan bergaul
dengan baik pada para penjaga toko emas. Ibu juga menyimpan dengan
sangat baik surat-surat hasil transaksi. Karena surat-surat itu akan sangat berguna di kala menjual kembali
perhiasan. Ibu terkadang membeli cincin atau gelang, tapi belum
pernah membeli kalung emas. Rupanya,
ibu bukan membeli untuk dikenakan sebagaimana perempuan ingin membeli perhiasan
untuk dipamerkan atau dibanggakan. Upaya ibu membeli perhiasan-perhiasan itu,
adalah caranya untuk menabung sekaligus berinvestasi.
Suatu ketika ibu bercerita pada saya. Suatu hari ia didatangi salah satu
tetangga kami. Tetangga itu minta tolong pada ibu, untuk di antar ke suatu
tempat. Tempat yang biasa ibu kunjungi. Ibu bahkan jadi salah satu pelanggan
awal saat tempat itu dibuka. Ternyata tempat itu adalah kantor pegadaian. Usut
punya usut, si tetangga malu dan baru pertama kali datang ke kantor pegadaian.
Ia sudah terpaksa dan tidak tahu harus kemana untuk mendapatkan pinjaman uang.
Alhasil, ibu pun bersedia membantu tetangga kami. Tak masalah bagi ibu, karena
ibu pun sudah keluar masuk kantor pegadaian. Ada kejadian lucu, saat mereka
datang ke kantor pegadaian. Si tetangga tadi bertemu dengan tetangga lainnya.
Kebetulan, tetangga kami tadi beda RW. Sehingga ibu belum tentu kenal dengan
tetangga dari tetangga yang diantar oleh ibu. Mereka saling sapa dan tetangga
kami tadi mengatakan kepada tetangganya, bahwa ia sedang mengantar teman (ibu
saya) ke kantor pegadaian. Ah. Tetangga, masa gitu. Seperti sebuah judul sitkom
kenamaan.
Kami lupakan sikap tetangga kami. Tapi cerita ibu padaku akan hal itu masih
teringat. Bukan kebetulan, barangkali juga dirasakan oleh perempuan-perempuan
lainnya. Ibu menjadikan pegadaian sebagai solusi untuk ”mengatasi masalah tanpa
masalah.” Dengan bermodalkan perhiasan tadi, ibu akan datang ke pegadaian jika
dirasa kebutuhan benar-benar mendesak. Terutama untuk kebutuhan sekolah seperti
buku, ujian, kegiatan luar sekolah yang mana terkadang biayanya membengkak. Dulu
pun, aku pernah mengeluhkan soal hal itu. Kenapa sekolah dan kebutuhannya mahal
sekali. Banyak sekali. Tapi, ibu justru sebaliknya. Bagi ibu, ia sungguh tak
masalah harus membayar SPP mahal atau iuran lebih banyak daripada wali murid
lain. Meskipun pas-pasan, ibu berkeyakinan bahwa jika ia tak ”perhitungan”
untuk pendidikan, anak-anak ibu akan lancar dan dimudahkan dalam segala urusan
pendidikan.
Dan itu, benar adanya. Puji syukur kami sekolah-sekolah yang terbaik.
Terbaik dalam arti, sekolah-sekolah negeri itulah yang menerima, memberi ilmu
dan meluluskan kami. Kami melewati masa-masa ujian nasional dengan baik dan lancar.
Nilai bukan menjadi patokan utama di keluarga kami. Bukan nilai tidak penting,
tapi itu tadi, ibu berharap kami lulus lancar hingga mampu melangkah ke jenjang
selanjutnya.
Lagi-lagi harus disyukuri, nilai kami selalu cukup untuk bekal ke jenjang
selanjutnya. Sampai suatu saat tiba kami, kami bisa berkuliah di PTN. Kami
lulus sarjana dengan waktu yang sesuai (4 tahun). Padahal, sejak masa sekolah,
kami tak pernah merasakan les bimbingan belajar yang banyak diminati sekolah
menjelang Ujian Nasional. Biaya untuk mendaftar dan membayar
bulanan les bimbingan belajar begitu berat. Bahkan rasanya melebihi biaya SPP
sekolah. Kami hanya mengandalkan belajar mandiri dan fasilitas tambahan
pelajaran dari sekolah.
Kami kuliah di jurusan pilihan kami masing-masing dari ilmu sosial, ilmu
alam dan bahasa. Tentu, ada rasa kebanggaan tersendiri bagiku dan adik-adik.
Dan tentu saja, peran orang tua tidaklah lepas dari keberhasilan kami dalam
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang tertinggi. Itu semua tentu berkat doa
dan usaha orang tua.
Kami tahu dan memahami bahwa tidak ada orang tua sempurna di dunia ini.
Begitu pula bapak dan ibu. Sampai hari ini pun kami telah dewasa, kami takkan
pernah bisa membalas semua yang telah ibu lakukan untuk kami.
Namun, melalui tulisan kecil ini, aku ingin bercerita pada dunia. Ibu
adalah ”wanita emas” yang tak ternilai harganya bagi keluarga kami. Aku dan
adik-adik berterima kasih atas setiap pengorbanan dan cintamu yang tak
terhingga, Ibu. Teruntuk seluruh ibu, kami akan terus berusaha membuatmu bangga.
Membalas semua jasa-jasamu sekuat yang kami bisa, meski ibu tak pernah meminta.
Komentar