Transformasi Transportasi Indonesia: Polemik Transportasi Online, Adaptasi Budaya, dan Pengalaman Perempuan

Polemik transportasi di Indonesia saat ini benar-benar “panas” dan sering mengundang perdebatan tajam di media sosial, serupa riuhnya isu Pilpres 2014 maupun Pilkada DKI waktu itu. Sejak hadirnya transportasi online, nuansa adem ayem transportasi umum, seperti angkot dan ojek konvensional, mulai terusik. Dinamika ini tak hanya soal teknologi, tetapi juga refleksi perubahan budaya dan sosial yang langsung mempengaruhi kehidupan banyak pihak, khususnya perempuan pengguna transportasi.

Nostalgia: Pengalaman Naik Angkot dari Masa ke Masa

Sebagai perempuan yang tumbuh di Malang, aku punya cerita personal dengan transportasi umum. Sejak SD, aku sudah “kenceng” naik angkot biru sendiri. Bayarannya waktu itu hanya Rp. 700 untuk sekali jalan—angkot CKL atau MM jadi penghubung antara rumah dan sekolah. Duduk di pinggir pintu jadi pengalaman unik tersendiri, sensasi segar bercampur deg-degan.

Saat SMP dan SMA, aku lebih banyak berjalan kaki, karena sekolah hanya sepelemparan batu. Praktis, momen naik angkot hilang karena jarak dekat—pengalaman ini sebenarnya memperkuat peran perempuan membiasakan diri mandiri di ruang publik.

Kuliah membawa ‘move on’ baru: jarak makin jauh, naik angkot kembali jadi pilihan selain nebeng motor teman. Harga naik angkot saat itu melonjak hingga Rp. 4.000 sekali jalan, total Rp. 16.000 bolak-balik. Makin terasa mahal, apalagi jika dibanding beli bensin untuk beberapa hari.

Transportasi umum memberi banyak pelajaran:

  • Belajar mandiri, berani, membaca rute, mengelola uang jajan
  • Suka duka: dari asyik karean angkot full musik sampai “gemes” menunggu sopir ngetem
  • Angkot jadi ruang sosial perempuan berinteraksi: mulai anak sekolah, ibu-ibu, pegawai, hingga buruh pasar.

Transformasi Teknologi Transportasi dan Implikasinya

Revolusi digital, khususnya smartphone dan aplikasi, membawa perubahan radikal. Transportasi online hadir menawarkan kepraktisan dan fleksibilitas. Di kota rantauan (Jogja), ojek konvensional awalnya tetap jadi pilihan: dari ojek wisata hingga ojek lokal langganan, semuanya mengandalkan jaringan kontak via nomor ponsel.

Tapi lama-kelamaan, layanan ojek online jadi solusi utama buat perempuan: harga transparan, bisa dipesan via aplikasi, pembayaran cashless makin mudah. Pengalaman membandingkan ongkos—dari cash bayar Rp. 12.000 jadi cuma Rp. 2.000 untuk jarak dekat (promosi aplikasi)—melejitkan adopsi moda online. Bahkan pengalaman berbagi tumpangan car sharing bersama sesama mahasiswa mempererat solidaritas perempuan perantauan.

Transportasi digital benar-benar

  • Membuka akses mobilitas untuk perempuan, terutama malam hari, atau ke lokasi yang tidak dijangkau angkot
  • Menjadi alternatif aman jika transportasi umum sepi atau terbatas
  • Mempengaruhi pola kerja para driver, yang kini berasal dari beragam profesi serta latar belakang.

Transportasi Umum vs Online: Saling Melengkapi atau Persaingan Tajam?

Masih banyak perempuan dan kelompok masyarakat yang bergantung pada transportasi umum, terutama ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lansia. Di Malang dan kota-kota lain, angkot dan bus sekolah masih dihidupi oleh pasar loyal ini. Transportasi online melengkapi kekosongan akses, terutama di malam hari atau ke daerah yang tidak dilalui rute umum, termasuk keperluan mendadak atau destinasi alternatif (pasar, tempat wisata, bandara).

Namun, muncul isu persaingan tidak sehat, keresahan sopir konvensional, dan polemik kebijakan. Perempuan sebagai pengguna kadang terjebak dilema: “Bantu UMKM sopir angkot/ojek lokal atau pilih kepraktisan serta rasa aman transportasi online?” Jawabannya bergantung pada kebutuhan, rasa aman, dan konteks sosial-budaya setempat.


Refleksi Budaya: Transportasi, Teknologi, dan Identitas Perempuan

Transformasi moda transportasi mencerminkan adaptasi budaya dan teknologi yang sangat cepat. Pilihan moda tidak sekadar soal efisiensi, tapi juga identitas, kelas sosial, dan kebutuhan spesifik perempuan dalam mobilitas sehari-hari. Di satu sisi, transportasi online membuka kemudahan bagi perempuan berkarier, ibu bekerja, atau mahasiswi. Di sisi lain, ada kekhawatiran homogenisasi budaya dan hilangnya nilai sosial dari interaksi di ruang publik tradisional.

Tantangan utamanya adalah bagaimana pemerintah dan stakeholder transportasi menemukan titik temu solusi, agar semua “pemain”—baik konvensional maupun online—bisa saling menyesuaikan, dan masyarakat mendapatkan transportasi yang layak, aman, serta inklusif.

Penutup

Tulisan ini adalah opini reflektif hasil observasi dan pengalaman pribadi penulis sebagai perempuan yang selama dua dekade menjajal transformasi transportasi di Indonesia. Teknologi dan budaya saling mengubah dan membentuk kebiasaan baru. Meskipun transportasi online menawarkan kemudahan, transportasi umum tetap relevan dan perlu didukung. Semoga ke depan, transportasi di Indonesia semakin ramah, aman, dan fungsional bagi seluruh lapisan masyarakat—tanpa melupakan keberagaman dan kebutuhan mobilitas perempuan Indonesia.

Komentar

Adsense